PAPER KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Kesadaran bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dimulai bersamaan pada kurun waktu lahirnya era reformasi. Kesadaran ini lahir karena korupsi terjadi secara meluas yang tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Sebagai extra ordinary crime, korupsi telah berkembang begitu canggih baik dari sisi pelakunya maupun modus operandinya, maka pemberantasan korupsi akan kurang memadai jika hanya dilakukan dengan cara-cara biasa, sehingga karenanya pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Pemberantasan korupsi memerlukan peningkatan transparansi serta akuntabilitas sektor publik dan dunia usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja serta memadukan pekerjaan lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan (seperti BPK, Irjen, Bawasda dan PPATK) dengan penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun Kehakiman). Sebagaimana sudah kita alami sendiri, kelemahan dan korupsi dalam satu mata rantai kelembagaan itu telah membuat negara kita dewasa ini sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia dan telah menyengsarakan rakyat sendiri. Akibat dari kelemahan dan ulah sendiri tersebut, perekonomian dan seluruh sendi-sendi kehidupan sosial kita telah runtuh sendiri pada tahun 1997-1998 itu. Timor Timur memisahkan diri dari NKRI dan Indonesia dianggap the sick man of Asia hingga saat sekarang ini.

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam Rencana Strategic Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2008 – 2011 disebutkan bahwa dengan pertimbangan bahwa sampai akhir tahun 2002 pemberantasan tindak pidana korupsi belum dapat dilaksanakan secara optimal dan lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[1]

Selain lembaga internal dan eksternal dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan.

Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross- country comparison), sehingga survei ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu.

Adapun China dan Thailand merupakan contoh negara yang mengesankan dalam mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. China selama satu dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan korupsi. Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktek korupsi di kalangan pejabat. Sementara Thailand juga melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi dan hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS utangnya.[2]

Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elite politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan.

Contoh kasus nyata terjadi di daerah Kalimantan Barat, banyak dirasakan terjadinya korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah yang berasal dari dana APBN atau APBD. Berdasarkan pengakuan dari para kontraktor, dijelaskan bahwa setiap dana proyek yang cair 30% nya adalah jatah untuk pimpinan proyek yang notabene adalah kepala dinas Pekerjaan Umum wilayah Kalimantan yang mengadakan proyek tersebut. Belum lagi permintaan setoran dari aparat pemerintah dari kedinasan perhutanan yang berkaitan dengan proyek tersebut, karena pembuatan jalan ini, memotong sebagian pohon. Sehingga dalam realisasi anggaran untuk proyek tersebut, barang dan jasa yang dihasilkan/dikerjakan akan jauh dari standar dikarenakan terlalu banyak dana yang terpotong (disunat) di tengah jalan. [3]

Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis.

Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacamwillingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum.

Dari perspektif penegakan hukum kendala pemberantasan korupsi dapat dilihat dari tiga faktor dominan yang mempengaruhi tegak tidaknya hukum terhadap sang koruptor. Faktor-faktor tersebut adalah :

  1. Faktor pertamaadalah faktor penegak hukum, faktor manusianya, di tengah maraknya tindakan represif melalui pengadilan (litigation) terhadap para koruptor masih ada saja penegak hukum yang justru memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi. Seperti kasus penyidik KPK Suparman, kasus hakim perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski tak banyak jumlahnya,kasus ini merupakan indikator masih maraknya korupsi di lembaga-lembaga penegakan hukum.
  2. Berkembangnya modus operandi korupsi utamanya di bidang ³rekayasa keuangan´ merupakan faktor kedua yang mempengaruhi penegakan hukum. Privatisasi tindakan kriminal terjadi di bidang pasar modal, asuransi, serta melalui instrumen-instrumen keuangan lainnya yang bersifat keperdataan. Tidak sedikit perjanjian-perjanjian keperdataan membungkus tindakan koruptif.
  3. Faktor ketiga,Instrumen hukumnya. Meski baru beberapa bulan saja tepatnya sejakDesember 2006 pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapuskan satu unsur tindak pidana korupsi, yaitu unsur melawan hukum materiil dianggap bertentangan dengan konstitusi UUD 45 karena adanya ketidak pastian hukum bagi terdakwa dalam konteks “melanggar kepatutan, melanggar kesusialaan” yang disetiap ruang dan waktu akan berbeda penafsirannya. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi ini penuntutan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada perbuatan melawan hukum secara formal yaitu melanggar hukum positif peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tiga faktor diatas masih akan mewarnai perjalanan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi. Sementara itu Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Conventions Against Corruption) telah ditandatangani oleh 133 negara termasuk Indonesia pada 9 Desember 2003 di Merida, Mexico. Konvensi ini merupakan wujud kesadaran masyarakat internasional untuk berusaha mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Indonesia telah meratifikasi denganUndang-undang No. 7 tahun 2006 Tentang PengesahanUnited Nation Conventions Against Corruption 2003. Dalam konvensi tersebut disepakati empat Strategi Besar (GrandS trategy), yaitu: Pencegahan, Penindakan, Pengembalian Asset dan Kerjasama International. Konvensi PBB ini juga menetapkan peranan dan tanggung jawab yang seimbang antara Negara/Pemerintah dan pihak swasta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan menempatkan peran serta masyarakat sebagai partner kerja yang sama pentingnya dengan pemerintah dalam pencegahan korupsi.

Beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota, sebagai berikut:

  1. Menerapkan peraturan nasional tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakan hukum, pengelolaan urusan dan prasarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik;
  2. Membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan anti korupsi yang diadopsi oleh Konvensi Anti Korupsi;
  3. Melakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi;
  4. Setiap anggota wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat dan berkinerja baik;
  5. Membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan publik dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, serta peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi;
  6. Melakukan pencegahan korupsi disektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akuntansi dan pelaporan. Sekaligus melibatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi;
  7. Negera peserta Konvensi Anti Korupsi harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi ahli dan korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerjasama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yuridiksi dalam penanganan perkara korupsi, melakukan kerjasama internationalmemberantas korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, asset Recovery dsb.

Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi baik melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan maupun aktivitas penindakan melalui penegakkan hukum, dapatlah direkomendasikan beberapa langkah:

  1. Memaksimalkan penegakaan hukum aturan tentang “Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara” (LHKPN) serta “aturan tentang gratifikasi” dalam rangka tindakan pengawasan dan prevensi terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik utamanya para penegak hukum;
  2. Meski sampai kini Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi masih berjalan, namun pada dasarnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terancam, karena batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi hanya sampai tiga tahun sejak diputuskan yaitu Desember 2009. Pengadilan TIPIKOR merupakan bagian dari penanganan tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa (extra ordinary), maka kehadiran Undang-undang yang menjadi dasar keberadaannya sangatlah signifikan untuk segera disahkan, karenanya direkomendassikan untuk sesegera mungkin pernyusunan, perumusan dan pengesahan Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar dari kehadiran Pengadilan TiPIKOR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia.
  3. Dalam penyusunan undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi yang akan datang hendaknya ketentuan-ketentuan yang ada dapat mengakomodasi paradigma dan kecenderungan korupsi yang tidak hanya sebagai kejahatan yang bersifat nasional, regional, tetapi juga internasional. Oleh karenanya semaksimal mungkin ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan dengan hasil Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), antara lain:
    1. Pengaturan korupsi di bidang swasta;

Hal ini didasarkan meruaknya beberapa kasus penyuapan pejabat publik asing oleh pelaku sektor swasta. Kolaborasi sektor publik dan sektor swasta telah memperkuat keterlibatan swasta yang lebih dalam, sistematik dan meluas dalam tindak pidana korupsi;

  1. Pengaturan sistim pengembalian asset;

Dalam konteks pengembalian asset dapat dibedakan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Sistim pengembalian asset secara langsung dapat dilakukan dengan cara:

a)      Adanya pengurangan hukuman bagi Terdakwa yang mengakui kesalahannya sekaligus mengembalikan seluruh kerugian Negara;

b)      Penerapan ketentuan Pembuktian terbalik yang bersifat tidak terbatas (premium remedium);

Strategi pemberantasan korupsi harus bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas korupsi. Selain itu, upaya pencegahan harus lebih digalakkan, antara lain melalui: Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS; Pendidikan anti korupsi; Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik; dan Perbaikan remunerasi PNS.

Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public aw areness) mengenai dampak destruktif darikorupsi, khususnya bagi PNS : [4]

  1. Pendidikan anti korupsi;
  2. Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik;
  3.  Perbaikan remunerasi PNS.

Adapun upaya penindakan harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. Efek jera seperti:[5]

  1. Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan;
  2. Pengembalian hasil korupsi kepada negara; dan
  3. Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi.

Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc). Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan, terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi.

Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan. Sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif. Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi diakses tanggal 30 November 2011. Pukul 22.00 WIB

[2] http://www.scribd.com/doc/39076873/Kebijakan-Pemberantasan-Korupsi-Paper diakses tanggal 1 Desember 2011. Pukul 18.35 WIB.

[3] http://www.infokorupsi.com/id/geo-korupsi.php?ac=18&l=kalimantan-barat diakses tanggal 30 November 2011. Pukul 22.45 WIB.

[4] http://www.scribd.com/doc/39076873/Kebijakan-Pemberantasan-Korupsi-Paper diakses tanggal 1 Desemeber 2011. Pukul 19.00 WIB.

[5] http://forum.detik.com/showthread.php?p=14362702 diakses tanggal 30 November 2011. Pukul 23.00 WIB.

Leave a comment