Pembangunan Desa Wisata (Studi Kasus: Desa Gajahrejo, Kabupaten Malang)

Potensi dari suatu daerah dan tingkat perekonomian dari daerah tersebut memiliki satu ikatan yang kuat dimana dapat dikatakan kekayaan sumber daya alam (SDA) dapat menunjang pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Namun pada kenyataannya di Indonesia masih terdapat daerah yang dengan potensi melimpah namun memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena daerah tersebut belum mampu dalam mengelola kekayaan yang ada secara baik dan berkelanjutan. Hal tersebut membuat pengelolaan potensi daerah tersebut tidak maksimal dan memberikan dampak buruk, salah satunya banyaknya daerah tertinggal yang belum dapat teratasi.

Jika melihat dari data dari persentase desa tertinggal, Pulau Jawa terdapat 15.087 dari 22.458 desa atau secara nasional sebesar 67.18% (Kemendesa, 2018). Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (2018), barometer desa tertinggal adalah memiliki indeks > 0,4907< 0,5989. Desa Gajahrejo yang menjadi locus penulis memiliki indeks 0,5988 atau dapat dikatakan tertinggal. Desa Gajahrejo merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Luas dasa ini sebesar 15.149.000 m2, namun 3.750.000 merupakan lahan kritis. Desa Gajahrejo memiliki potensi SDA yang dapat dikatakan cukup besar dan jumlah penduduk berdasarkan kepala keluarga (KK) sebanyak 3.132 KK (Kabupaten Malang, 2018).

Desa Wisata Gajahrejo merupakan sektor penting yang dapat nantinya memberikan kontribusi pendapatan daerah. Di desa ini terdapat banyak perkebunan yang dapat dijadikan edukasi wisata, di desa ini juga masih sangat kental dengan nuansa alam pegunungan yang dapat dijadikan wisata alam, dan desa ini memiliki enam pantai yang sangat indah, yaitu Pantai Bajulmati, Pantai Ungapan, Pantai Watu Leter, Pantai Teluk Asmoro, Pantai Parang Dowo dan Pantai Bengkung. Namun, sangat disayangkan kurangnya terobosan baru dalam pembangunan pariwisata di desa ini menyebabkan desa wisata kurang berkembang dan juga partisipasi masyarakat juga diperlukan dalam pengembangan desa wisata ini. Padahal bila kita melihat data statistik bahwa masyarakat yang datang untuk wisata paling banyak berkunjung ke Jawa Timur sebesar 52.081.723 orang, seperti hasil BPS dibawah ini:

Tabel 1: Grafik Jumlah Perjalanan Wisatawan Nusantara Tahun 2018, 35 Provinsi (dalam Orang)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018

           

Dalam pengembangan desa wisata tidak hanya melihat potensi desa itu sendiri namun melihat dari sekitar yang terkoneksi dengan pengembangan ini, salah satunya adalah pendekatan habitus. Habitus adalah sebuah struktur mental (kognitif) yang digunakan aktor, aktor disini dapat individu atau kelompok dalam menghadapi kehidupan sosial. Habitus diperoleh atau terbentuk melalui proses yang sangat panjang, tergantung pada tempat dimana aktor ini tinggal. Menurut Bourdieu melihat habitus sebagai faktor penting yang dapat berkontribusi dalam reproduksi sosial, karena merupakan pusat untuk menghasilkan dan mengatur praktik yang membentuk kehidupan.  Desa Gajahrejo yang terkenal dengan hasil pertanian dan perkebunan. Pekerjaan utama masyarakat Desa Gajahrejo adalah petani tradisional, menjadikan mereka terbiasa bekerja keras di bawah terik matahari.

Dalam pandangan Bourdieu, habitus terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain. Kebiasaan masyarakat yang merupakan sikap mental atau tindakan yang dilakukan adalah secara tak langsung berkontribusi dari hasil interaksi dengan orang lain. Masyarakat Desa Desa Gajahrejo menyerap pengetahuan dan pengalaman orang lain untuk bersikap lebih baik di kehidupan sosial. Kepercayaan terhadap danyang Desa Gajahrejo masih hidup dan mempengaruhi pola pikir dari masyarakat Desa Gajahrejo dan menghasilkan nilai-nilai dalam diri mereka. Salah satu nilai yang dipegang masyarakat ini adalah nilai menghormati dan menghargai. Dalam melaksanakan kegiatan perkumpulan, mereka biasanya berkumpul menjadi satu, saling bertukar pikiran, saling menghargai dan berdiskusi. Bourdieu menyatakan bahwa habitus terbentuk dari praktik-praktik yang dilakukan oleh individu atau agen dalam melaksanakan sesuatu atau menyelesaikan masalah. Dari kebiasaan inilah masyarakat desa ini mempraktikan nilai-nilai kerukunan dalam hidup bermasyarakat (Bourdieu, 2012).

Leave a comment