Free-trade vs Kemiskinan di Indonesia

*Essay saya untuk Ujian Tengah Semester di Program Pasca Sarjana Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia

Beberapa tahun terakhir ini telah banyak dilakukan pembicaraan dan juga pertemuan yang bersifat regional, maupun antar kawasan, guna mematangkan lebih lanjut soal implementasi dari pemberlakuan perdagangan bebas (free trade). Hal ini termasuk perdagangan bebas APEC, pembicaraan intra-kawasan seperti pasar tunggal Eropa maupun gagasan serupa di kawasan lain, termasuk ASEAN, perjanjian kemitraan ekonomi antara Indonesia-Jepang, maupun pakta perdagangan bebas ASEAN-China. Pemberlakuan dari pasar bebas ini serta merta bagaikan membangunkan negara kita dari tidur, mengapa? karena bila kita melihat dari satu sisi kita dapat memanfaatkan peluang dari pemberlakuan pasar bebas ini, namun di sisi lain tidak pelak akan terlihat adanya potensi bahaya yang mengancam industri tanah air bila kita. Indonesia, tidak segera untuk membenah diri agar dapat bersaing di era perdagangan bebas.

Kenyataan yang terjadi saat ini, serbuan produk China di pasar global kini semakin serius, Indonesia pun tidak luput dari hajaran produk-produk China tersebut. Jika kita melihat dengan kasat mata di beberapa toko di Indonesia atau pasar tradisional di Indonesia, baik itu di perkotaan maupun di pedesaan, bahkan di daerah  terpencil sekalipun, banyak produk China yang membanjiri. Seperti halnya jika kita melihat di Pasar Klewer, Solo dan Pasar Beringharjo, Yogyakarta tidak luput dari serbuan tekstil dengan corak batik dari China.

Jika kita melihat lebih dalam, khususnya pedesaan, maka kita akan melihat permasalahan yang lebih kompleks. Kita tidak bisa memungkiri bahwa wilayah pedesaan masih berhadapan dengan masalah kemiskinan yang belum dapat diatasi dengan serius dan sistematis oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, namun sudah harus dihadapi dengan proses liberalisasi pasar. Kebijakan makro pemerintah yang saya ketahui selama ini masih terkesan tidak berpihak kepada rakyat di pedesaan, namun lebih berpihak kepada elit penguasa dan juga pengusaha. Disatu sisi saya melihat pemerintah terkesan lemah dan lebih banyak menuruti intervensi asing dalam hal ekonomi. Salah satunya adalah liberalisasi sektor pertanian dalam kerangka perdagangan bebas yang dilakukan pemerintah sangat menyengsarakan petani dan membuat petani semakin terpuruk. Implikasi dari liberalisasi sektor pertanian ini sudah membuat banyak produk-produk pertanian impor di pasar dalam negeri, tidak hanya supermarket tetapi pasar tradisional bai di kota maupun desa. Tekanan dari produk pertanian impor ini sudah menjatuhkan harga produk pertanian domestik, tidak hanya itu saja tetapi sudah menggeser preferensi konsumen sehingga tingkat dari minat produk pertanian impor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan namun mirisnya berbanding terbalik dengan produk pertanian lokal.

Hal ini bisa terlihat dari hasil Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), bahwa Biji Gandum dan Meslin menjadi bahan pangan impor yang paling tinggi per tahun 2018 kuartal pertama.

Bagan 1: Impor Berdasarkan Komoditas Pangan Periode (Jan –Nov 2018) 

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia

Dampak lanjutannya, para pelaku khususnya pertanian di dalam negeri baik itu petani, peternak, pekebun, pembudidaya, dan nelayan akan berhadapan langsung dengan produk pertanian impor di pasar lokal. Para petani lokal kita akan menghadapi “perang” di sebuah arena perdagangan bebas yang nantinya akan menguji daya saing, produktivitas serta keunggulan komparatif dan juga kompetitif. Masalah yang akan dihadapi bagi para petani lokal di Indonesia ini adalah, akankah mereka siap?

Leave a comment